Gaharu di Indonesia
Gaharu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan devisa negara, dimana pengusahaannya di Indonesia sudah dilakukan masyarakat sejak zaman Hindia Belanda (Wiyono et al, 2001). Di Kalimantan Timur terdapat tiga jenis pohon penghasil gaharu yaitu Aquilaria microcarpa, A. beccariana dan A. malaccensis (Suhartono dan Newton, 2000). Dari kelompok Aquilaria tersebut, ada beberapa spesies yang berpotensi menghasilkan kualitas tinggi diantaranya adalah A. malaccensis, A. microcarpa, A. filaria dan A. beccariana (Sumarna, 2002).
Gaharu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan devisa negara, dimana pengusahaannya di Indonesia sudah dilakukan masyarakat sejak zaman Hindia Belanda (Wiyono et al, 2001). Di Kalimantan Timur terdapat tiga jenis pohon penghasil gaharu yaitu Aquilaria microcarpa, A. beccariana dan A. malaccensis (Suhartono dan Newton, 2000). Dari kelompok Aquilaria tersebut, ada beberapa spesies yang berpotensi menghasilkan kualitas tinggi diantaranya adalah A. malaccensis, A. microcarpa, A. filaria dan A. beccariana (Sumarna, 2002).
Permasalahan gaharu saat ini adalah penurunan populasi
di hutan alam akibat eksploitasi yang berlebihan karena permintaan pasar yang
semakin meningkat. Maka banyak berdatangan para pencari gaharu yang kurang
mengerti tentang pengambilan gaharu, apakah pohon yang ditebang mengandung
gaharu atau tidak. Penebangan tersebut dilakukan semakin intensif sejalan
dengan meningkatnya permintaan pasar. Di samping itu penebangan pohon dilakukan
tidak secara selektif sehingga menyebabkan pohon yang tidak mengandung gubal
gaharupun ikut ditebang. Penebangan juga merusak anakan di sekitar pohon
induknya sehingga mengganggu regenerasi secara alamiah (Dirjen RLPS, 2004;
Umboh, 2005).
Permasalahan lain yang memicu menurunnya populasi gaharu
adalah kerapatan pohon yang rendah perhektarnya. Berdasarkan hasil penelitian
Suhartono (1999), populasi gaharu di Sumatera dan Kalimantan umumnya kurang
dari 0,3 pohon per Ha. Selanjutnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sekitar
10.000 sampai 40.000 pohon di tebang dalam satu tahun. Sedangkan menurut La
Frankie (1994), Barden et al, (2000) dalam Umboh (2005), untuk memperoleh
satu pohon yang mengandung gubal gaharu, pencari gaharu dapat menebang hampir
sepuluh pohon.
Dampak dari eksploitasi gaharu yang berlebihan tersebut
mengakibatkan ekspor gaharu dari tahun ke tahun semakin menurun. Puncak
perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918-1925 dan pada masa penjajahan
Hindia Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan ekspor
gaharu semakin meningkat. Ekspor gaharu tidak hanya ke daratan Cina, tetapi ke
Korea, Jepang, Amerika Serikat dan negara Timur Tengah dengan permintaan tidak
terbatas. Ekspor gaharu Indonesia periode 1983-1987 sekitar 103 ton/tahun,
tahun 1990-1998 mencapai 165 ton/tahun dan hingga akhir tahun 2000 mencapai 446
ton/tahun. Sedangkan rata-rata kuota Indonesia sejak tahun 2000 sekitar 300
ton/tahun. Hanya saja saat ini produksi gaharu Indonesia baru terpenuhi sekitar
10-20% atau sekitar 25-40 ton/tahun,
sehingga masih jauh dari kuota ekspor (Sumarna, 2002).
Sumber: Bahan Ajar Pelatihan Budidaya dan
Teknik Inokulasi Gaharu, tanggal 5 – 6 Juli 2011. Dinas Perikanan Kelautan dan Pertanian di
Kota Bontang oleh: Ir. Ngatiman, MP